Jakarta, CNBC Indonesia - Kerjasama PT Pertamina (Persero) dan PT Telekomunikasi Indonesia untuk digitalisasi nozzle terjalin sejak 2018. Namun hingga kini digitalisasi noozle baru mencapai 70% atau 3.500 SPBU dari target 5.518 SPBU.
Menanggapi hal ini Anggota Komite BPH Migas Lobo Balia mengatakan lamanya penyelesaian digitalisasi nozzle karena masalah tekhnikal. Dirinya menyebut untuk memasang kabel, elektrik dan sebagainya memang membutuhkan waktu lama. Ditambah jumlah SPBU Pertamina yang sangat banyak.
"Jadi mungkin dulu Pertamina merasa dengan tekhnologi yang dia pilih bisa cepat ternyata enggak ya. Itu tekhnikal kok masalahnya jadi nggak ada masalah lain kalau terlambat," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, selasa malam, (18/02/2020).Ditargetkan digitalisasi noozle akan rampung pada Juni 2020. Mengenai target ini Lobo menyerahkan ke Pertamina karena target rampungnya digitalisasi dibuat Pertamina."Kita cuma bilang kita tunggu selesai kapan ini akan membantu mengawasi memperketat pendistribusian Jenis BBM Tertentu (JBT) itu yang paling penting," ungkapnya.
Capaian digitalisasi ini belum sampai ke tahap pencatatan nomor kendaraan. Menurut Lobo pencatatan nomor bukanlah hal yang begitu penting. Karena dengan mengetahui volume dari setiap nozzle saja sudah cukup, dalam memberikan gambaran jebolnya penyaluran BBM subsidi di mana.
"Dengan terpasangnya digitalisasi kita juga belum bisa secara penuh bagaimana pengawasannya tapi yang paling penting adalah aturan dan bagaimana pendistribusian ini yang penting," paparnya.
Terkait keberadaan SPBU swasta, menurutnya pengawasannya sudah jauh lebih bagus daripada Pertamina. Seperti PT AKR Corporindo Tbk yang pernah menyalurkan solar subsidi, meski kuotanya sangat kecil. Kuota solar subsidi menurutnya 99,9% nya disalurkan oleh Pertamina.
"Kalau saya boleh kasihkan penilaian SPBU AKR jauh lebih tertib, mereka punya poin of sale elektronik mencatat mobil yang memberikan, mereka kasih kuota mobil yang diberikan solar itu AKR," paparnya.
Komentar
Posting Komentar