PONTIANAK - Transaksi ekonomi berbasis digital terjadi akibat transisi sistem ekonomi dan keuangan tradisional menuju ekonomi modern berbasis teknologi informasi (TI).
Hasil transisi tersebut memunculkan berbagai inovasi bisnis baru, misalnya fintech, startup, mobile banking, mobile payment, dan commerce.
Untuk mempermudah transaksi bisnis, selanjutnya perusahaan-perusahaan berbasis TI, mulai melengkapi usahanya dengan aplikasi mobile payment dalam bentuk uang elektronik (UE).
Kondisi inilah yang mendorong transformasi sistem pembayaran konvensional, menuju digital seperti yang kita alami saat ini.
Bagaimana Pemerintah merespon perubahan sistem pembayaran ini?
Kondisi ini memang perlu direspon dengan cepat oleh Pemerintah melalui otoritas terkait.
Kondisi ini memang perlu direspon dengan cepat oleh Pemerintah melalui otoritas terkait.
Karena berhubungan dengan sistem pembayaran, maka peran ini di bawah kewenangan Bank Indonesia (BI). BI pada 17 Agustus 2019 lalu telah mengeluarkan kebijakan QRIS (Quick Response code Indonesia Standard).
QRIS diberlakukan mulai tahun ini (2020), dan menjadi satu-satunya standar baku sistem pembayaran berbasis kode QR (quickresponse) di Indonesia.
Standar QRIS muncul dalam merespon perkembangan sistem pembayaran berbasis server yang menggunakan kode QR.
Kode QR sendiri berbentuk kotak dua dimensi hitam putih dengan kombinasi kotak-kotak kecil yang berisi sejumlah data yang dapat dibaca melalui proses pemindaian (scan).
Contoh sistem pembayaran berbasis QR misalnya Gopay, LinkAja, ShopeePay, Paytren, Dana, OVO, dan bank-bank yang menyediakan UE.
UE yang dikeluarkan oleh masing-masing Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) jika tidak diintegrasikan akan membuat pengguna harus mengunduh banyak aplikasi mobile payment di smartphone agar dapat bertransaksi digital di banyak toko.
Sebagai ilustrasi (ketika belum terintegrasi), pengguna PJSP DANA tidak bisa bertransaksi di toko yang menggunakan OVO, demikian juga, cafe yang berafiliasi dengan OVO, kode QR-nya tidak bisa dipindai pengguna Gopay.
Kondisi ini mengurangi efisiensi bertransaksi digital. Di sinilah peran penting standar QRIS BI dalam mengintegrasikan semua sistem pembayaran berbasis kode QR tersebut.
Setiap PJSP yang akan (dan telah) memiliki mobile payment berbasis kode QR harus mendaftarkan diri dan mengikuti standar QRIS BI mulai tahun ini (2020).
Apa Keuntungan penerapan Standar QRIS?
Standar QRIS akan menguntungkan banyak pihak. Transaksi ekonomi menjadi efisien, karena penjual tidak harus berafiliasi dengan banyak PJSP untuk mengakomodir beragam mobile payment pembeli.
Cukup satu saja, karena kode QR-nya dikenal seluruh aplikasi UE yang berstandar QRIS.
Demikian juga pembeli, yang tidak lagi harus memiliki banyak akun mobile payment. Sebagai contoh, pengguna LinkAja yang akan membayar di toko yang berafiliasi dengan Gopay dapat langsung memindai kode QR di toko tersebut menggunakan aplikasi LinkAja tanpa harus memiliki akun Gopay. Hal ini juga berlaku untuk kode QR dari PJSP lainnya yang berstandar QRIS.
Pihak mana saja yang terlibat dan bagaimana tingkat keamanannya?
Minimal terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu PJSP, Lembaga Gerbang Pembayaran Nasional (LGPN), dan
Penyelenggara Penunjang (pihak yang bekerja sama dengan penjual atau merchant aggregator). Dari sisi keamanan, kode QR dapat disetarakan dengan penggunaan kartu ATM dan mesin EDC karena kanal pembayarannya sama, yaitu bersifat shared delivery channel.
Apa saja Tantangan dan upaya dalam penerapan sistem pembayaran digital?
Pertama, pasti kita bicara tentang dukungan infrastruktur digital. Luasnya wilayah Indonesia menjadi tantangan besar. Selanjutnya masalah tingkat pendidikan dan literasi keuangan. Tingkat pendidikan yang relatif rendah dengan literasi dan inklusi keuangan yang masih terbatas ikut berkontribusi dalam penerapan sistem pembayaran digital. Pemerintah telah dan terus berupaya dalam menerapkan visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.
Pertama, pasti kita bicara tentang dukungan infrastruktur digital. Luasnya wilayah Indonesia menjadi tantangan besar. Selanjutnya masalah tingkat pendidikan dan literasi keuangan. Tingkat pendidikan yang relatif rendah dengan literasi dan inklusi keuangan yang masih terbatas ikut berkontribusi dalam penerapan sistem pembayaran digital. Pemerintah telah dan terus berupaya dalam menerapkan visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.
Upaya melalui otoritas terkait, seperti BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) terus digalakkan. Pencapaian infrastruktur digital yang baik mulai terlihat ketika Palapa-ring sepanjang 36.000 km telah terkoneksi di Indonesia, ditambah data literasi dan inklusi keuangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Risiko apa yang perlu diantisipasi dalam sistem pembayaran digital?
Pemerintah perlu mengantisipasi beberapa hal, diantaranya risiko cyber, proteksi data, risiko sistemik, dan meningkatnya praktik shadow-banking (lembaga non-bank yang beroperasi seperti bank).
Penguatan regulasi menjadi penting dalam tahap ini, termasuk keterbukaan ekonomi yang harus tetap mengedepankan prinsip kepentingan nasional.
Apa Harapan dari penerapan sistem pembayaran digital ini?
Interkoneksi antar pelaku ekonomi (antar bank, antar non-bank, dan antar bank dengan non-bank) dan antar instrumen keuangan (tabungan, UE, dan kartu debet/kredit) idealnya akan mendorong inklusi keuangan yang lebih tinggi. Inklusi yang baik dapat mendukung stabilitas makro dan sistem keuangan, efisiensi ekonomi, pertumbuhan ekonomi, membatasi praktik shadow-banking, dan mendukung peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM).
Sebagai bank sentral, BI bertanggung jawab dalam mengawal moneter Indonesia.
Kita mengapresiasi upaya BI melalui kebijakan QRIS dalam merespon transformasi sistem pembayaran.
Kebijakan tersebut diharapkan mampu memberi dukungan positif terhadap peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.
Efisiensi ekonomi yang lebih tinggi diharapkan mampu mendorong percepatan UMKM “naik kelas” dan mendukung stabilitas makro di tengah ketidakpastian global saat ini. (*)
Komentar
Posting Komentar