Langsung ke konten utama

Adu Cepat COVID-19 dan Digitalisasi Pendidikan.

 Adu Cepat COVID-19 dan Digitalisasi Pendidikan

Pandemi Virus Corona atau COVID-19 memberikan tekanan berat pada mobilisasi masyarakat di seluruh dunia. Dengan penyebaran yang sangat cepat, Asia, Amerika, Timur Tengah dan Eropa telah mengambil kebijakan untuk mencegah perkembangan pandemi agar tidak semakin meluas dengan menetapkan kebijakan lockdown atau social distancing. Dalam dua pekan terakhir, negara-negara yang tergabung dalam OECD mengumumkan larangan kehadiran di sekolah dan universitas. Diperkirakan 421 juta anak-anak terdampak karena penutupan sekolah yang diterapkan di 39 negara. Di Indonesia, atas anjuran social distancing yang dikeluarkan oleh pemerintah, ‘kelumpuhan’ di pelbagai sektor sudah tampak nyata. Perusahaan-perusahaan di Indonesia contohnya, turut menetapkan kebijakan bekerja dari rumah guna meminimalisir mobilisasi karyawan perusahaan. Sektor lainnya adalah sektor Pendidikan; hampir seluruh Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi menutup sementara kegiatan belajar dan menginstruksikan peserta didik untuk belajar di rumah masing-masing. Kebijakan-kebijakan ini telah menuntut sektor swasta dan Lembaga Pendidikan untuk mengembangkan inovasi dan kreatifitas agar kegiatan belajar dan bekerja tetap terlaksana di tengah krisis badai COVID-19.  Artikel ini bermaksud mengkaji dampak COVID-19 terhadap pemanfaatan teknologi dan digitalisasi khususnya di Indonesia akibat diberlakukannya kebijakan belajar di rumah. Terdapat setidaknya dua argumen yang akan digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan yang ditetapkan terkait penanggulangan COVID-19, yaitu; pertama, COVID-19 telah mendorong percepatan revolusi industri 4.0 di dunia pendidikan melalui adopsi teknologi atau digitalisasi untuk kebutuhan sarana belajar selama krisis terjadi. Kedua, pendekatan Pendidikan dengan pemanfaatan teknologi dalam situasi penanggulangan COVID-19 berpotensi mengakibatkan kesenjangan digital dan memperparah ketimpangan sosial yang selama ini terjadi di masyarakat. Revolusi Industri 4.0 Dipercepat Istilah revolusi industri 4.0 muncul seiring dengan pengenalan internet, sistem fisik cyber dan hadirnya jaringan yang saling menghubungkan negara-negara di dunia. 4.0 merupakan salah satu revolusi industri yang paling cepat berkembang setelah revolusi industri ketiga yang dimulai pada 1980-an yang ditandai dengan transformasi teknologi terkomputerisasi. Teknologi industri 4.0 juga telah mengaburkan batas antara teknologi dan masyarakat untuk membangun kehidupan manusia yang lebih efisien. Baca Juga  Jilbab dan Ukuran Keislaman Seseorang Di tengah kekhawatiran semakin merebaknya penularan COVID-19, teknologi dan digitalisasi telah memainkan peranan vital dalam mendukung kebijakan lockdown dan social distancing di pelbagai negara. Bencana COVID-19 telah menjadi katalis bagi institusi Pendidikan, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan dan lain sebagainya di seluruh dunia untuk mencari solusi inovatif dalam waktu yang relatif singkat. Masyarakat dipaksa untuk belajar cepat dalam pemanfaatan teknologi. Ruang kelas, kantor, aula pertemuan, telah menjadi kosong. Masyarakat berpindah pada ruang virtual melalui penggunaan pelbagai platform online, antara lain: Google Classroom, Zoom.us, Edmodo, Schoology, Youtube, e-Learning. Sebagai negara pertama yang terjangkit COVID-19, pemerintah Tiongkok memberlakukan lockdown di beberapa kota dan mengubah kegiatan belajar melalui siaran langsung televisi yang dapat diakses oleh 120 juta siswa. Nigeria, salah satu negara di Afrika, media pembelajaran online yang disebut asinkron standar (seperti bahan bacaan melalui Google Classroom) dan instruksi video tatap muka diadopsi selama penutupan sekolah berlangsung. Di negara-negara dimana fasilitas 5G tersedia seperti Cina, Amerika Serikat dan Jepang, konsep pembelajaran telah dikembangkan dalam bentuk pendidikan digital pelbagai format sehingga dapat mendukung konsep “belajar dimana saja dan kapan saja”. Bahkan pembelajaran di kelas secara pribadi telah dilengkapi dengan modalitas pembelajaran baru sehingga belajar bisa menjadi kebiasaan yang terintegrasi ke dalam rutinitas sehari-hari. Demikian pula di Indonesia, kebijakan belajar di rumah selama wabah COVID-19 telah menciptakan lompatan pemanfaatan teknologi – ponsel dan internet- yang awalnya hanya untuk medsos dan relasi sosial, kini menjadi medium kegiatan belajar mengajar. Menurut KataData (2017), penggunaan Ponsel Indonesia terbilang sangat tinggi, yaitu mencapai 142% dari Populasi. Sampai 2019, ponsel terdaftar sebanyak 371 juta dan pengguna internet mencapai 133 juta. Baca Juga  Hikmah Tahun Baru Hijriyah Akan tetapi, dengan beragam program dan aplikasi pembelajaran secara online yang digunakan, tidak dapat dipungkiri bahwa baik tenaga pengajar, orangtua ataupun siswa mengalami shock culture. Tidak sedikit anak mengalami ketertinggalan proses belajar karena adaptasi teknologi yang tidak mudah. Bahkan di negara maju seperti Amerika sekalipun, para guru dan orangtua menghadapi penyesuaian yang cukup berat ketika proses belajar kelas dialihkan ke rumah dengan bantuan teknologi digital. COVID-19, Digitalisasi Pendidikan dan Ketimpangan Sampai saat ini, tidak ada satu pihakpun yang dapat memprediksi secara pasti berapa lama bencana COVID-19 akan terjadi. Kebijakan lockdown atau social distancing yang mungkin diperpanjang atau diperluas cakupannya tentunya dapat menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian.  Dukungan belajar di rumah dengan penggunaan teknologi perlu mendapatkan pantauan serius dari institusi pendidikan untuk memastikan setiap anak dari pelbagai kelompok ekonomi mendapatkan akses belajar. Dengan tingkat ketimpangan di Indoneia yang masih tinggi, baik masyarakat di perkotaan ataupun di pedesaan, tingkat ekonomi tentunya akan mempengaruhi anak dalam mengakses fasilitas teknologi saat belajar di rumah. Dana Goldstein, seorang penulis buku yang berjudul The Teacher Wars, memaparkan sebagian besar rumah tangga di Amerika memiliki internet, tetapi jurang ketimpangan berdasarkan pendapatan, ras dan tingkat pendidikan orang tua tetap berpengaruh signifikan pada kemampuan orangtua dalam mendampingi anak-anaknya belajar di rumah dengan fasilitas teknologi. Keluarga berpenghasilan rendah lebih cenderung bergantung pada telepon pintar atau smart phone untuk mengakses internet, sehingga anak-anak dalam rumah tangga tersebut tidak dapat menggunakan perangkat lunak pembelajaran yang lebih canggih yang membutuhkan tablet atau komputer. Dengan bermodalkan smart phone yang terbatas, tidak mustahil bagi anak yang memiliki saudara kandung harus menyelesaikan tugas sekolah mereka dengan satu ponsel. Ketimpangan akses teknologi digital dapat mengakibatkan ketertinggalan dalam proses belajar bagi anak dan jika situasi darurat ini tidak dapat diatasi segera, maka dalam jangka panjang akan berdampak pada pencapaian Pendidikan anak. Baca Juga  Bisnis Berlabel "Syariah", Apakah Menjual Agama? Dukungan teknologi melalui pembelajaran digital perlu diakui merupakan adaptasi dan inovasi strategis. Namun demikian, pemerintah dan Lembaga Pendidikan perlu memastikan bahwa sistem pembelajaran dengan pemanfaatan teknologi dapat diakses oleh seluruh peserta didik tanpa terkecuali. Ketimpangan akses fasilitas yang dipengaruhi tingkat ekonomi mengindikasikan kapabilitas yang wajib diperhatikan agar situasi yang berbeda pada setiap siswa dapat ditangani sehingga teknologisasi belajar selama krisis COVID-19 berlangsung, tidak mengakibatkan jurang ketimpangan semakin melebar. . See - 
sumber: https://ibtimes.id/adu-cepat-covid-19-dan-digitalisasi-pendidikan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bantu Mudahkan 'Jalan' UMKM, CEO Toko Online Ini Masuk Forbes 30 Under 30

Liputan6.com, Jakarta  Hidup itu adalah pilihan. Dalam pekerjaan atau menjalankan usaha misalnya. Anda bebas memilih, mau bekerja diposisi apa, berbisnis apa, dan bagimana cara menjalankan usaha tersebut. Hal itulah yang setidaknya dilakukan oleh pengusaha muda asal Jakarta, William Sunito. Dia adalah Founder & Chief Executive Officer (CEO) TokoWahab.com Di usia mudanya, bungsu dari tiga bersaudara ini memimpin sekaligus mengelola perusahaan keluarga yang berdiri pada 1957. "Pada akhir 2015 saya kembali dari Amerika ke Indonesia dan memutuskan untuk terjun langsung mengurus perusahaan keluarga saya. Ini memang kemauan saya (untuk mengelola perusahaan) karena saya melihat ada potensi yang besar," jelas William saat berbincang dengan  Tim Liputan6.com  di kantornya di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (12/2). Ya, berbekal passion dalam dunia bisnis ditambah pengetahuan yang didapat selama kuliah di University of Washington, Amerika Serikat, William mulai menerap

OPINI Cristeddy Asa Bakti: Menentukan Posisi di Era Digitalisasi

REVOLUSI  industri memegang peranan penting dalam  kehidupan manusia. Dimulai dari revolusi industri 1.0 pada abad ke-18 di mana tenaga manusia mulai digantikan dengan mesin bertenaga uap dampaknya pekerjaan yang sebelumnya di kerjakan manusia terdisrupsi oleh mesin uap. Pada era tersebut muncul pekerjaan baru yaitu sebagai operator mesin uap dan juga manusia yang sebelumnya hanya berfokuskan menggunakan tenaga mulai meningkatkan kompetensi supaya bisa mengoperasikan mesin tersebut. Revolusi industri 2.0 yang terjadi di awal abad ke-20 ditandai dengan kemunculan tenaga listrik. Perubahan dari mesin uap ke mesin bertenaga listrik dikarenakan energi listrik mudah diubah menjadi energi yang lain.  Pada era ini pun juga terjadi disrupsi dan perubahan yaitu mulai bermunculannya pabrik-pabrik untuk pembuatan produk massal dikarenakan mulai diperkenalkan dengan kehadiran “ban berjalan” (konveyor) misalnya: mobil, motor. Dampaknya manusia yang sebelumnya bermata pencaharian petani memi

WEF 2020 Meluncurkan Manifesto Davos untuk Revolusi Industri 4.0

Davos, IDN Times  - Pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF), Profesor Klaus Schwab, meluncurkan Manifesto Davos (The Davos Manifesto 2020).  Klaus yang mencetuskan “Revolusi Industri 4.0” dan menulis buku tentang itu, memberikan judul “Tujuan Universal Sebuah Perusahaan di era Revolusi Industri Ke-4”.  Manifesto diluncurkan bertepatan dengan tahun ke-50 dilakukannya WEF, yang setiap bulan Januari dilaksanakan di Davos, resor ski di pegunungan Alpen, Swiss.  “Tahun 1973, kami mengumumkan Manifesto Davos juga yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk beroperasi.  Prinsip-prinsipnya masih relevan dan awet. Tapi, dunia berubah secara dinamis. Saat ini perusahaan global diharapkan menjadi agen perubahan, memainkan peran lebih besar dalam menentukan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya yang mengubah dunia,” kata Klaus. Pendiri WEF ini mengklaim bahwa selama 50 tahun, WEF telah berkontribusi dalam pembangunan global di berbagai bidang. Manifesto Davos 2020 dimaksudka