Masih tentang Covid-19 yang menyerang dengan tidak pandang bulu, alhasil seluruh masyarakat dipaksa untuk beradaptasi. Tidak hanya perorangan yang harus menerapkan 5M secara ketat, dunia industri juga kalang kabut mengubah proses bisnisnya selama pandemi. Beberapa melakukan revisi model bisnis dengan responsif, sebab pilihannya hanyalah mau berubah atau mati.
Industri kecil dan menengah tampaknya lebih fleksibel dalam merespons perubahan yang mendadak akibat kebijakan yang diberlakukan selama masa pandemi, meskipun tak disangkal mereka juga berdarah-darah dalam menjalankan bisnis.
Kafe menjual kopi literan dalam botol besar, yang siap dikirim kemana saja, dengan berbagai citarasa yang biasanya hanya bisa diperoleh pelanggan dengan datang ke kafe. Jasa kurir pengantaran menjamur, menawarkan harga dalam range yang cukup lebar, kadang tak mempedulikan kualitas penanganan barang yang dikirim hingga kopi tumpah di jalan atau klappertaart yang luber dari loyangnya.
Usaha berskala kecil marak, mulai dari ibu rumah tangga yang prihatin karena suami terkena pemutusan hubungan kerja, hingga mahasiswa yang merasa bosan kuliah daring, lalu memilih untuk menjual salmon mentai, macaroni schotel, atau bolu marmer. Lalu bagaimana dengan usaha berskala besar?
Mereka juga berjibaku dalam upaya mempertahankan bisnisnya, dengan gaya apa saja yang memungkinkan. Dengan adanya kebijakan PSBB dari pemerintah, sangat kecil kemungkinannya untuk mengharapkan peningkatan angka penjualan yang eksponensial seperti yang lalu-lalu. Perusahaan sibuk mengencangkan ikat pinggang, merestrukturisasi proses bisnis, berdiet merampingkan diri agar tetap dapat eksis melewati masa sulit yang entah kapan akan berakhir.
Karyawan tidak dapat datang ke kantor seperti dahulu lagi, rapat harus melalui aplikasi khusus, pemantauan progres pekerjaan maupun proyek-proyek di perusahaan juga dilakukan dari jarak jauh. Orang terbiasa menggunakan teknologi dalam bekerja, kalau tidak dikatakan terpaksa, baik kaum Milenial, Generasi X, Y, Baby Boomers dan generasi-generasi yang masih ada di perusahaan, tanpa terkecuali.
Beberapa perusahaan yang telah menerapkan teknologi otomatisasi pada produksinya sedikit boleh bersyukur, karena tidak terlalu terdampak dengan ketiadaan karyawan di pabrik akibat kebijakan WFH (Work From Home). Penggunaan konsep pemasaran digital menjadi hal yang kritikal, dan pengolahan data dengan menggunakan teknologi Big Data menjadi bukan angan-angan lagi. Seluruh data dan informasi disimpan di awan, dan secara fleksibel dapat diunduh kapan saja oleh yang diberi otoritas untuk itu.
Di bidang kesehatan bahkan penggunaan teknologi menjadi alat bantu penentu kecepatan menghentikan pandemi. Di Jepang, suatu perusahaan startup yang memproduksi robot bahkan menghasilkan produk robot yang dapat mengusir kesepian para pasien Covid yang dirawat dan diisolasi di rumah sakit.
Robot yang dapat berperan menjadi koki dan memasak takoyaki dan mie soba juga telah diproduksi di Jepang. Dan restoran yang menggunakan robot tersebut dapat menghemat 50% biaya karyawannya. Bayangkan!
Di bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, gamifikasi menjadi primadona dalam mengantarkan konten yang menarik dan memastikan pemahaman prima dari mahasiswa atau peserta. Teknologi Artificial Intelligent maupun Augmented Reality perlahan namun pasti merambah dunia pendidikan. Pengajar dan instruktur mau tidak mau harus menguasainya, atau pilihannya tidak dapat menyebarkan ilmunya secara optimal. Mekanisme belajar mengajar berubah total, dan semua harus beradaptasi tanpa pilihan.
Sebelum masa pandemi, penggunaan teknologi selalu membutuhkan pertimbangan yang panjang. Wajar saja, teknologi selalu memiliki dua wajah, seperti dua sisi mata uang. Yang satu membuat gembira, dan yang satu lagi tak jarang membuahkan derita. Tetapi pandemi yang melanda seluruh permukaan dunia ini memaksa penggunaan teknologi tanpa kompromi lagi.
Lalu apakah penggunaan teknologi yang mencirikan era Industri 4.0 di semua bidang ini akan berjalan dengan mulusnya?
Tentu saja tidak. Ada beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan bagi pelaku industri, maupun pemerintah sebagai regulator dan pendukung adopsi Industri 4.0.
Tantangan pertama tentu saja kapabilitas sumber daya manusia yang perlu disesuaikan dengan teknologi yang akan digunakan. Dalam beberapa penelitian, disebutkan bahwa kapabilitas menjadi isu utama yang harus diperbaiki untuk dapat mengadopsi teknologi pada era Industri 4.0.
Tak terkecuali di Indonesia, pengembangan sumber daya manusia sejatinya difokuskan pada area yang mendukung teknologi terkini. Bukan lagi melatih apa yang dapat dilakukan mesin (yang mungkin saja jauh lebih presisi daripada jika manusia yang melakukannya), tetapi bagaimana mengendalikan mesin-mesin tersebut.
Dalam buku The Humachine karangan Nada R. Sanders, PhD dan John D. Wood, Esq, disebutkan istilah Moravec’s Paradox, yaitu kondisi di mana jika mesin berkapabilitas kuat maka manusianya akan lemah, dan sebaliknya.
Namun perlu diingat bahwa mesin tidak dapat melakukan seluruhnya, ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh mesin tetapi dapat dilakukan manusia. Manusia bersifat intuitif, kreatif, dan paham akan konteks. Mesin cenderung lebih kuat, lebih cepat, dan lebih presisi dalam bekerja. Di masa depan, tidak dapat ditawar lagi, dua karakteristik tersebut harus dapat berjalan harmonis.
Tantangan kedua adalah biaya implementasi. Perusahaan besar dengan modal besar tentu tidak terkejut lagi dengan nilai investasi besar untuk penggunaan teknologi. Namun perusahaan menengah atau bahkan yang berskala kecil, menggunakan teknologi AI misalnya, bagaikan pungguk merindukan rembulan.
Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengelola tantangan kedua ini. Keterlibatan startup yang membangun teknologi terkini dengan harga layanan terjangkau sangat diperlukan. Tetapi startup yang demikian juga perlu dikembangkan melalui inkubator-inkubator bisnis yang, kalau perlu, dikelola negara.
Investasi negara pada inkubator bisnis bukan hal baru lagi, dengan catatan mereka memberikan payback yang kontributif untuk masyarakat pengusaha kecil dan menengah dengan memberikan layanan teknologi yang terjangkau.
Tantangan utama terakhir adalah waktu implementasi. Jenis teknologi yang berbeda akan membutuhkan waktu implementasi yang berbeda pula. Maka penting bagi masyarakat pelaku bisnis untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang ragam teknologi yang dapat digunakan dalam bisnisnya.
Peran akademisi pada dunia pendidikan tinggi sangat diharapkan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan masyarakat ini. Bukan hanya dunia usaha saja yang menjejali masyarakat dengan iklan-iklan layanan atau produknya, namun pengetahuan tentang ragam teknologi juga perlu disebarluaskan guna meningkatkan pemahaman dunia bisnis. Dan ujung-ujungnya mereka akan memiliki pilihan dalam mendisain proses bisnis berteknologi dan siap mengadopsi Industri 4.0.
Sumber: https://swa.co.id/swa/my-article/dampak-covid-19-percepatan-adopsi-industri-4-0
Kata siapa UMKM tidak perlu melek keamanan siber (cybersecurity) ? Kami akan membahasnya bersama pak Didi Nurcahya, ITIL®, GSEC - di 16 Feb 2021, pastikan anda terdaftar di https://s.id/eventcerdas16feb .
Komentar
Posting Komentar