Sehari 180 Ton Barang Online Banjiri Sulut: E-Commerce Bantu Ekspor UMKM Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Sehari 180 Ton Barang Online Banjiri Sulut: E-Commerce Bantu Ekspor UMKM, https://manado.tribunnews.com/2020/01/22/sehari-180-ton-barang-online-banjiri-sulut-e-commerce-bantu-ekspor-umkm. Penulis: reporter_tm_cetak Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) Sulawesi Utara perlu lebih aktif bermain di Pasar Bebas Asia Tenggara-Cina (ASEAN-China Free Trade Agreement). Bumi Nyiur Melambai masih menjadi pesar empuk produk UMKM Cina.
Data dari JNE Manado, barang masuk ke Sulut 897.494 kilogram (897,49 ton) pada November 2019 dan 953.646 kg (953,64 ton) pada Desember 2019. Sementara barang keluar masing-masing 389.376 kg (389,38 ton) dan 465.398 kg (465,39 ton). Artinya, neraca perdagangan Sulut dan Cina masih belum berimbang. Sulut masih minus 56,62 persen dan 51,2 persen pada dua bulan terakhir dari data JNE.
Bila diasumsikan 1 perusahaan ekspedisi mengangkut 900 ton barang online. Di Sulut ada 6 perusahaan ekspedisi paling terkemuka, yakni PT Global Jet Express atau J&T Express, PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir dikenal JNE, PT Sicepat Express, PT Pos Indonesia (perseo), PT Tiki Indonesia (Tikindo) dan PT Lion Parcel). Artinya, bisa mengangkut 5.400 ton barang online per bulan atau 180 ton per hari.
Era pasar bebas yang diikuti booming e-commerce turut mendorong produk luar negeri ke Indonesia. Di perusahaan ekspedisi JNE misalnya, sekitar 30 persen dari total barang masuk berasal dari luar negeri. "Paling banyak itu barang dari Tiongkok," kata Kepala JNE Manado, Julianus Barthen Patinggi kepada Tribun Manado, Selasa (21/1/2020).
Sebagai pembanding, pada November 2019, jumlah barang ekspedisi yang masuk ke Sulut menggunakan jasa JNE 897,49 ton. Pada Desember jumlah barang masuk via JNE naik menjadi 953,64 ton. "November-Desember adalah 'peak season' pengiriman ekspedisi," katanya.
Dari jumlah itu, kata Patinggi, 30 persen atau sekitar 250-300 ton adalah barang dari Tiongkok. Termasuk di dalamnya Hong Kong, Taiwan dan Singapura. "Semuanya barang e-commerce yang dibeli online oleh warga Sulut," jelasnya.
Produk fashion mendominasi kiriman asal Negeri Tirai Bambu itu. Aneka pakaian seperti kemeja, celana, kaus, sepatu dan sendal. Jumlahnya mencapai 80 persen. Sisa 15 persen di antaranya produk elektronik seperti handphone, vape dan pods. "Sisanya aksesoris dan kebutuhan rumah tangga. Pernah ada panci, belanga hingga troli bayi pun ada," jelas dia.
Menarik, kata Barthen, barang yang masuk itu merupakan produk UMKM di Tiongkok. "Berbeda dari kita di sini, produk UMKM relatif sulit diekspor," jelasnya. Menurut dia, hal ini tak lepas dari beberapa faktor. Selain e-commerce yang menjadi marketplace terbuka, harga barang (Cina) lebih murah. Pelaku UMKM di luar negeri lebih fasih bermain di marketplace dan memanfaatkan e-commerce.
Ia bilang, biaya pengiriman juga relatif lebih murah. Perusahaan e-commerce mendapatkan harga khusus baik pajak barang masuk maupun biaya kirim yang diberikan perusahaan ekspedisi. Apalagi, e-commerce memberi kemudahan lewat sistem cash on delivery (COD). Pembayaran dilakukan kala pesanan tiba di tempat.
Adanya COD, ada barang dari luar negeri yang dikembalikan. Meskipun, kata Barthen, jumlahnya tak sampai 10 persen. "Biasanya barang yang dikembalikan karena tak sesuai dengan yang diharapkan. Di gambar lain, datangnya lain. Ada juga karena kesalahan teknis pemesanan," katanya.
Belanja online lagi tren di era sekarang ini. "Saya biasanya beli, tas, baju lewat belanja online," kata Rima Sari Rangen, saat ditemui Tribun Manado di J&T Kairagi, Senin (20/1/2020). Ia menambahkan, ada beli barang dari luar negeri dan cuma satu saja tapi sudah lupa apa pakaian atau tas. "Harganya terjangkau dan lebih murah di sana cuma ongkosnya yang mahal," kata dia saat mengambil barang pesanan di J&T.
Lanjut dia, kalau belanja dalam satu bulan sekitar 10 kali. Barang lain pun dijual lagi. "Bukan kita pakai, kita jualan kok (reseller)," katanya lalu tertawa. Pungkasnya, kalau belanja online ongkos kirim (ongkir) mahal dan biasanya beli dari Jakarta dan Medan serta satu kali dari luar negeri.
Selain itu, pengemar belanja online mengatakan bahwa banyak kemudahan jika belanja lewat olshop. "Harganya sebenarnya standar kalo di online cuma diskonnya lumayan besar," kata seorang mahasiswi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) pengemar online shop itu.
Ia menyatakan, kalau belanja online biasanya ada tambahan potongan ongkir. "Terus lebih gampang karena bisa langsung dari handphone (HP)," pungkas dia.
Kepala JNE Manado menambahkan, banjirnya produk UMKM asing –utamanya didominasi Tiongkok– tak lepas dari regulasi yang relatif longgar. "Pertama memang ini pasar bebas dan eranya e-commerce. Orang lebih mudah membeli secara online, butuh apa tinggal buka smartphone. Kedua, regulasi impor kita yang memperbolehkan," kata Barthen.
Ia menjelaskan, produk UMKM asing mudah masuk karena regulasi bea masuk. Berdasar PMK Nomor 112 nomor/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman, barang impor yang kena bea masuk ialah senilai 75 dolar Amerika Serikat (AS).
Barang senilai di bawah 75 dolar tak kena bea masuk. "Nah, biasanya kan barang online itu relatif murah. Ada jam tangan tak sampai Rp 100 ribu, baju, celana, sepatu, sendal dan lain," katanya. Beruntung, pemerintah kini sadar dan mengubah regulasi dengan mengeluarkan PMK Nomor 199 tahun 2019 tentang Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.
PMK ini mengubah ambang batas pembebanan bea masuk barang impor dari sebelumnya 75 dolar menjadi 3 dolar per kiriman. Aturan ini mulai berlaku pada awal Februari 2020. Dalam aturan ini, rasionalisasi turun dari 27,5 persen-37,5 persen menjadi 17,5 persen. "Secara tidak langsung akan mengerem laju barang masuk dan di sisi lain akan mendorong penerimaan bea masuk lewat Bea Cukai," katanya.
Meskipun demikian, ketimpangan tetap masih akan terjadi karena barang dari dalam negeri yang keluar relatif sulit karena regulasi. Apalagi barang produk UMKM. Barthen bilang persoalan utamanya pada regulasi. UMKM sulit mengekspor karena terkendala status usaha dan perizinan.
"Sekarang ada UMKM mau ekspor tapi wajib berbadan usaha sementara UMKM lokal itu informal, belum badan usaha," katanya.
"Sekarang ada UMKM mau ekspor tapi wajib berbadan usaha sementara UMKM lokal itu informal, belum badan usaha," katanya.
Belum lagi kewajiban izin ekspor dan surat keterangan asal. Sialnya, dua dokumen ini pangkalnya ialah badan usaha. "Mengurus PT itu butuh belasan juta (rupiah), belum lagi SIUP dan lain-lain," jelasnya.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu menyederhanakan regulasi ekspor. Tujuannya memberi jalan kepada UMKM lokal mengekspor produknya. "Kenapa barang impor lebih mudah sementara produk dari dalam mau dikirim ke luar relatif sulit?" katanya.
Vecky Masinambow, pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi, mengatakan harga barang online lebih murah karena langsung dari produsen. "Itu kan konsekuensi dari e-marketing," katanya.
Ia melanjutkan, jadi itu sudah gejala dan fenomena di era digital. "Jadi kalau banyak barang yang masuk kan orang-orang belanja pakaian, sepatu dan kebutuhan lain lewat online," jelas Vecky.
Kata dia, kalau kiriman paket banyak sebagai konsekuensi dari era digital.
"Memang sekarang ini perdagangan di mal mengalami kecenderungan menurun," ujarnya. Lanjut Vecky, sekarang sudah era bisnis online. "Sampai suku cadang saja tidak beli lagi di toko onderdil, sebagian sudah beli lewat online," ujarnya.
"Memang sekarang ini perdagangan di mal mengalami kecenderungan menurun," ujarnya. Lanjut Vecky, sekarang sudah era bisnis online. "Sampai suku cadang saja tidak beli lagi di toko onderdil, sebagian sudah beli lewat online," ujarnya.
Peluang Emas untuk Investor
Robert Winerungan, Pengamat Ekonomi dari Unima mengatakan mungkin di domestik (barang) tidak ada sehingga warga Sulut itu kebanyakan mengimpor antarpulau dibandingkan mengekspor. Karena itu di Sulut perlu ada motivasi bagaimana untuk bisa membuat barang yang dikonsumsi di sini tidak perlu beli antarpulau.
Jadi identifikasi saja barang-barang apa yang suka diimpor oleh warga Sulut sehingga investor lokal ataupun investor dari luar daerah datang ke Sulut untuk membuat pabrik yang dibutuhkan oleh masyarakat Sulut.
Itu peluang emas untuk investor sehingga jika dibuat di Sulut kan barang akan lebih murah dibandingkan mereka harus kirim barang dari luar.
Itu peluang emas untuk investor sehingga jika dibuat di Sulut kan barang akan lebih murah dibandingkan mereka harus kirim barang dari luar.
Ini dari dulu saya lihat bahwa ekspor impor antarpulau, ya antardaerah itu, Sulut selalu surplus di impor. Kalau melihat neraca perdagangan antarpulau di statistik tidak pernah minimal berimbang, di sini banyak diimpor.
Padahal bahan bakunya misalnya pakan makanan ayam, pakan untuk makanan babi banyak diproduksi di sini kan dan banyak dipelihara di sini. Makanya kita harus produksi di sini saja.
Imbauan saya untuk pelaku usaha melirik barang-barang itu.
Imbauan saya untuk pelaku usaha melirik barang-barang itu.
Apa saja yang diminati oleh masyarakat Sulut sehingga bisa diproduksi di sini.
Jangan tanya barangnya tidak ada, tidak boleh begitu harusnya kita bisa diproduksi di sini. (ndo/ang)
Jangan tanya barangnya tidak ada, tidak boleh begitu harusnya kita bisa diproduksi di sini. (ndo/ang)
Komentar
Posting Komentar