Langsung ke konten utama

Fintech-Regulator Bahas Arah Baru Pengembangan UMKM

Direktur Pengaturan Perijinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi (kanan). Fintech berharap bisa lakukan sinergi lebih jauh dengan pelaku industri dan OJK
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kepala Staf kepresidenan membahas arah baru pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Termasuk untuk kasus khusus petani, nelayan, peternak, pekebun agar terhubung dengan ekosistem berbasis digital.Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kepala Staf Kepresidenan, Jend Purn. Dr. Moeldoko. Dari OJK hadir Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi. Dan pengurus AFPI dihadiri Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko, Ketua Eksekutif Pendanaan Syariah Lutfi Adhiansyah, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede, Ketua Bidang Pendidikan, Literasi dan Riset AFPI Entjik S. Djafar dan Kepala Bidang Hukum dan Etika AFPI Bernardino Vega.
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan 60 persen pertumbuhan ekonomi (GDP) Indonesia disumbang dari sektor UMKM. Hampir 95 persen penyerapan tenaga kerja juga dari sektor UMKM.
"Namun terjadi gap terhadap akses keuangan dan kolateral di ekosistem petani, sehingga hidup petani sulit untuk menjadi makmur," katanya, seperti dikutip dari siaran pers, Jumat (24/1).
Disinilah Fintech Peer to Peer (P2P) Lending hadir untuk menyalurkan pinjaman bagi masyarakat yang belum tersentuh lembaga keuangan informal. Fintech dapat menyasar mereka yang unbanked, pelaku UMKM termasuk petani.
Dengan kemajuan teknologi, saat ini sudah ada 164 perusahaan penyelenggara Fintech Lending yang terdaftar dan 25 berizin OJK dan menjadi anggota AFPI. Kini industri fintech lending telah mengisi financial gap sebesar Rp 74 triliun dari kebutuhan Rp 1.000 triliun.
Hendrikus juga turut memberikan paparan berupa sosialisasi tentang perkembangan regulasi OJK untuk pengaturan fintech. Agar memperjelas perbedaan antara Fintech P2P Lending dengan startup digital lainnya seperti startup fintech payment, e-moneye-commerce yang sering dipersamakan, padahal memiliki peran berbeda.
Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan fintech berharap bisa bersinergi lebih jauh dengan asosiasi, pelaku industri fintech maupun regulator OJK. Didukung Kepala Staf Kepresidenan dan instansi pemerintah lainnya, diharapkan kolaborasi dan sosialisasi bisa lebih meluas.
Sunu melanjutkan, ada tiga isu strategis yang dibahas dalam pertemuan. Menurutnya Kepala Staf Kepresidenan berkomitmen untuk membantu dalam beberapa hal. Pertama, untuk terbitnya undang-undang (UU) data privasi karena saat ini adalah era digital.
Ini supaya memberikan rasa kepercayaan kepada pengguna yang menggunakan layanan keuangan digital. Kedua, perlunya UU yang mengatur industri fintech, karena Fintech P2P Lending saat ini hanya memiliki perangkat aturan OJK.
Diharap regulasi akan ditingkatkan lagi dalam bentuk UU seperti layaknya jasa keuangan lain seperti perbankan, asuransi, multifinance yang sudah memiliki UU jasa keuangan terkait industrinya masing-masing. Ketiga, akses data dukcapil biometric yakni untuk kecepatan layanan, maupun verifikasi dibutuhkan interkoneksi yang baik.
Ketua Eksekutif Pendanaan Syariah Lutfi Adhiansyah menyampaikan ada kesepakatan untuk mempunyai program champion bersama. Pertama, anggota AFPI mendorong tumbuhnya pelaku usaha yang mengekspor barang dengan dukungan akses pembiayaan dari fintech.
Kedua, melalui teknologi ini, Fintech P2P Lending mempunyai sistem keagenan yang memungkinkan jangkauan lebih luas lagi para petani yang mempunyai gap teknologi. Sehingga dengan kelompok tani atau sistem keagenan ini bisa menjangkau UMKM yang lebih luas.
Menurutnya, perbankan belum tentu bisa menyalurkan ke sektor pertanian mikro karena fleksibilitas aturannya. Disinilah adanya perbedaan aturan fintech yang punya fleksibilitas bisnis model. Fintech bukan hanya memberikan akses permodalan, tapi juga penjualan dan pemasaran.
Lutfi menjelaskan sejalan dengan program yang pernah didiskusikan dengan Wapres, Kemenko, KNKS, maupun SNKI bahwa dalam lima tahun kedepan akan ada 3.000 titik layanan keuangan berbasis pesantren. Per tahunnya diharapkan ada 500 pesantren yang turut serta.
Fintech syariah pun semakin percaya diri untuk menjadi salah satu solusi mengamalkan ekonomi berbasis pesantren. Saat ini tercatat 12 perusahaan fintech lending berbasis syariah yang terdaftar di OJK dan menjadi anggota AFPI.
Berdasarkan data OJK hingga November 2019, total penyaluran pinjaman dari Fintech Lending mencapai Rp 74 triliun, meningkat 228 persen (ytd). Rekening lender juga meningkat 185,13 persen menjadi 591.662 entitas. Begitu juga rekening borrower bertambah 295,58 persen menjadi 17.244.998 entitas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bantu Mudahkan 'Jalan' UMKM, CEO Toko Online Ini Masuk Forbes 30 Under 30

Liputan6.com, Jakarta  Hidup itu adalah pilihan. Dalam pekerjaan atau menjalankan usaha misalnya. Anda bebas memilih, mau bekerja diposisi apa, berbisnis apa, dan bagimana cara menjalankan usaha tersebut. Hal itulah yang setidaknya dilakukan oleh pengusaha muda asal Jakarta, William Sunito. Dia adalah Founder & Chief Executive Officer (CEO) TokoWahab.com Di usia mudanya, bungsu dari tiga bersaudara ini memimpin sekaligus mengelola perusahaan keluarga yang berdiri pada 1957. "Pada akhir 2015 saya kembali dari Amerika ke Indonesia dan memutuskan untuk terjun langsung mengurus perusahaan keluarga saya. Ini memang kemauan saya (untuk mengelola perusahaan) karena saya melihat ada potensi yang besar," jelas William saat berbincang dengan  Tim Liputan6.com  di kantornya di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (12/2). Ya, berbekal passion dalam dunia bisnis ditambah pengetahuan yang didapat selama kuliah di University of Washington, Amerika Serikat, William mulai menerap

OPINI Cristeddy Asa Bakti: Menentukan Posisi di Era Digitalisasi

REVOLUSI  industri memegang peranan penting dalam  kehidupan manusia. Dimulai dari revolusi industri 1.0 pada abad ke-18 di mana tenaga manusia mulai digantikan dengan mesin bertenaga uap dampaknya pekerjaan yang sebelumnya di kerjakan manusia terdisrupsi oleh mesin uap. Pada era tersebut muncul pekerjaan baru yaitu sebagai operator mesin uap dan juga manusia yang sebelumnya hanya berfokuskan menggunakan tenaga mulai meningkatkan kompetensi supaya bisa mengoperasikan mesin tersebut. Revolusi industri 2.0 yang terjadi di awal abad ke-20 ditandai dengan kemunculan tenaga listrik. Perubahan dari mesin uap ke mesin bertenaga listrik dikarenakan energi listrik mudah diubah menjadi energi yang lain.  Pada era ini pun juga terjadi disrupsi dan perubahan yaitu mulai bermunculannya pabrik-pabrik untuk pembuatan produk massal dikarenakan mulai diperkenalkan dengan kehadiran “ban berjalan” (konveyor) misalnya: mobil, motor. Dampaknya manusia yang sebelumnya bermata pencaharian petani memi

WEF 2020 Meluncurkan Manifesto Davos untuk Revolusi Industri 4.0

Davos, IDN Times  - Pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF), Profesor Klaus Schwab, meluncurkan Manifesto Davos (The Davos Manifesto 2020).  Klaus yang mencetuskan “Revolusi Industri 4.0” dan menulis buku tentang itu, memberikan judul “Tujuan Universal Sebuah Perusahaan di era Revolusi Industri Ke-4”.  Manifesto diluncurkan bertepatan dengan tahun ke-50 dilakukannya WEF, yang setiap bulan Januari dilaksanakan di Davos, resor ski di pegunungan Alpen, Swiss.  “Tahun 1973, kami mengumumkan Manifesto Davos juga yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk beroperasi.  Prinsip-prinsipnya masih relevan dan awet. Tapi, dunia berubah secara dinamis. Saat ini perusahaan global diharapkan menjadi agen perubahan, memainkan peran lebih besar dalam menentukan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya yang mengubah dunia,” kata Klaus. Pendiri WEF ini mengklaim bahwa selama 50 tahun, WEF telah berkontribusi dalam pembangunan global di berbagai bidang. Manifesto Davos 2020 dimaksudka