Porsi penyaluran kredit perbankan ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM sekitar 20 persen dari total kredit atau masih di bawah target yang ditetapkan pemerintah, yakni 30 persen pada 2024. Persoalan agunan dan minimnya laporan keuangan UMKM menjadi kendala terhambatnya penyaluran kredit ke segmen ini. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pembiayaan multichannel untuk berbagi risiko.
Hal ini menjadi benang merah dalam seminar nasional ”Pembiayaan UMKM melalui Multi Channel Financing”, di Jakarta, Jumat (17/2/2023). Dalam kesempatan itu juga diluncurkan buku Kajian Model BisnisMulti Channel Financing (MCF) hasil kerja sama Bank Indonesia (BI) dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).
Mengutip data analisis uang beredar yang dirilis BI, total penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM pada Desember 2022 mencapai Rp 1.263,8 triliun atau sekitar 19,85 persen dari total kredit perbankan yang sebesar Rp 6.387,0 triliun.
Porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan ini masih di bawah target yang dicanangkan pemerintah, yakni 30 persen pada 2024.
Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono mengatakan, persoalan agunan dan ketersediaan laporan keuangan menjadi salah satu kendala utama bagi perbankan untuk memberikan kredit kepada UMKM. Sebab, hal itu merupakan salah satu persyaratan yang ditetapkan perbankan agar bisa mendapatkan calon debitor yang tepat. Persyaratan itu ditetapkan perbankan agar bisa mengenali dan menilai risiko kredit sehingga bisa memutuskan apakah akan memberikan kredit kepada calon nasabah atau tidak.
Kendala itu, lanjut Doni, bisa terpecahkan dengan skema model bisnis pembiayaan multichannel financing. ”Skema MCF ini bisa meringankan debitor karena terdapat jaminan dari mitra yang turut menjadi penyangga kredit antara lembaga pembiayaan dan UMKM,” ujar Doni.
Mengutip buku Kajian Model Bisnis Multi Channel Financing, yang dimaksud dengan MCF adalah skema pembiayaan kepada UMKM yang bertujuan untuk membagi risiko.
Penyaluran kredit UMKM bisa diberikan melalui perusahaan induk yang berada di rantai pasok transaksi UMKM. Dengan skema ini, UMKM bisa mendapatkan bahan baku dan memproduksi lebih cepat tanpa terkendala persyaratan kredit.
Model lainnya adalah kerja sama perbankan dengan lembaga pembiayaan lainnya, seperti entitas teknologi finansial (tekfin). Perbankan menyalurkan kredit ke tekfin, lalu tekfin meneruskannya ke UMKM. Kemampuan tekfin mencairkan dana dalam waktu cepat akan mampu memperluas cakupan pembiayaan bagi UMKM.
Doni menambahkan, skema MCF ini adalah salah satu inisiatif untuk mendorong peningkatan porsi penyaluran kredit kepada UMKM. Sebelumnya, BI sudah merilis Peraturan BI Nomor 24 Tahun 2022 tentang perubahan PBI No 23/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. Melalui peraturan itu, BI mewajibkan perbankan untuk meningkatkan RPIM bank ke sektor UMKM.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mendukung berbagai langkah untuk mendorong penyaluran kredit kepada UMKM. Menurut dia, pembiayaan sangat penting untuk membantu UMKM meningkatkan kapasitas usahanya.
”Dalam mewujudkan pengembangan sektor UMKM, salah satu faktor penting adalah kemudahan akses pembiayaan,” ujar Dian.
Kontribusi UMKM
Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba mengatakan, pengembangan UMKM perlu terus dilakukan sebab UMKM berkontribusi besar terhadap perekonomian negara. Hal ini tecermin dari kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 61,07 persen atau senilai Rp 8.573,89 triliun.
Namun, kontribusi total nilai kredit yang disalurkan kepada UMKM di Indonesia terhadap PDB nasional baru 7 persen. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan Laos yang sebesar 8,5 persen, Singapura 15,1 persen, Malaysia 18,5 persen, dan Thailand yang mencapai 30,3 persen.
”UMKM adalah salah satu tulang punggung perekonomian nasional,” ujar Hanung.
Komentar
Posting Komentar