Langsung ke konten utama

Digitalisasi bansos tingkatkan akuntabilitas



 Indonesia Fintech Society (IFSoc) mendukung upaya penuh pemerintah dalam melakukan digitalisasi bantuan sosial (Bansos) agar penyaluran lebih transparan, menghapus masalah perantara (middleman issue), mencegah kerumunan, dan tepat sasaran.

Untuk mempercepat langkah pemerintah dalam melakukan digitalisasi bansos, maka ada tiga aspek yang harus menjadi perhatian pemerintah yaitu perbaikan regulasi, perbaikan tata kelola penyaluran melalui digitalisasi (platform), dan tantangan pengelolaan data dalam penyaluran bansos.

Ketua IFSoc, Mirza Adityaswara, berpandangan Peraturan Presiden No. 63/2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai sudah saatnya dikaji ulang dan  direvisi dengan mempertimbangkan terdapat alternatif penyaluran bansos sebagai antisipasi perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat penerima manfaat. Menurutnya, untuk memulai proses digitalisasi bansos harus ada evaluasi dan perumusan kebijakan yang mendukung, dengan perlunya mengedepankan prinsip shared infrastructure dan omnichannel.

“Kondisi dunia saat ini sedang terpacu untuk menerapkan teknologi digital di berbagai bidang. Di Indonesia sendiri platform digital untuk bansos sudah siap, tergantung kemauan dan payung hukum yang sayangnya saat ini masih mempersempit ruang digital yang bisa dijalankan,” kata Mirza.

Ekonom CORE sekaligus anggota Steering Committee IFSoc, Hendri Saparini, menjelaskan digitalisasi bansos tidak untuk menggantikan penyaluran bansos melalui Bank namun sebagai alternatif tambahan untuk saling melengkapi.

“Digitalisasi bansos dapat menghilangkan middlemen issue, inefisiensi, dan berbagai distorsi yang selama ini terjadi, melalui pemanfaatan teknologi. Pemerintah perlu memiliki sebuah platform tersentral dan terintegrasi yang dibangun secara gotong-royong oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan fintech,” katanya.

Dikatakannya, Bansos dengan menggunakan kartu saat ini ada batasan karena harus menyiapkan kartu dan mesin EDC (electronic data capture) yang mahal. Opsi distribusi bansos tanpa kartu, atau cardless dengan menggunakan telepon seluler menjadi salah satu alternatif, misal menggunakan sms; lebih jauh data transaksi para penerima bansos pun dapat digunakan sebagai credit scoring dalam pengajuan kredit produktif.

"Dengan begitu maka digitalisasi bansos akan menjamin aspek governance, meningkatkan transparansi, efisiensi waktu, serta biaya,” kata Hendri Saparini.

IFSoc berpandangan Pemerintah tidak perlu membangun sistem baru untuk digitalisasi bansos, namun dapat bersinergi dengan mengoptimalkan infrastruktur setiap Kementerian dan Lembaga sehingga lebih efisien dan menghapus gap yang ada saat ini.

Pemerintah dapat mereplikasi platform kartu Prakerja yang telah berhasil menghilangkan middlemen issue (perantara), inefisiensi, dan distorsi lainnya. Program Prakerja juga telah membawa dampak positif seperti mendorong masyarakat untuk memiliki rekening bank ataupun dompet digital, kecepatan dan ketepatan distribusi insentif di hari yang sama, dan dapat menghindari kerumunan saat distribusi bantuan.

Sebelum memulai digitalisasi bansos, IFSoc menyarankan untuk membangun Pusat Informasi Data Bansos sebagai upaya membenahi data bansos dan memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pembaruan DTKS dapat menggandeng BPS, Pemerintah Daerah (Pemda), dan Universitas untuk mengumpulkan data di masa mendatang. Pembaruan DTKS dapat juga diberikan opsi untuk pendaftaran mandiri (self-registration) yang kemudian diverifikasi oleh Pemda.

IFSoc juga mendukung upaya Kementerian Sosial yang saat ini sedang mengembangkan Sistem Aplikasi Data Perbelanjaan (SADAP) berbasis barcode, untuk melihat data realisasi program sembako secara real time, akuntabel, transparan, dan konsisten. IFSoc mengusulkan agar pemerintah juga dapat mengeksplorasi pemanfaatan skema dan teknologi e-voucher dan e-kupon yang saat ini sudah digunakan di fintech.

“Negara-negara mulai mendorong inklusi finansial dengan menggunakan teknologi, termasuk digitalisasi penyaluran bansos. Untuk itu, IFSoc berpandangan saat ini pemerintah harus membuka pintu dengan melihat fintech sebagai alternatif tambahan penyaluran bansos. Untuk tahap awal, pemerintah dapat memanfaatkan sandbox sebagai ruang uji coba digitalisasi penyaluran bansos, termasuk kerjasama antara Bank dan Fintech,” kata Ekonom CSIS Indonesia yang juga Steering Committee IFSoc, Yose Rizal Damuri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bantu Mudahkan 'Jalan' UMKM, CEO Toko Online Ini Masuk Forbes 30 Under 30

Liputan6.com, Jakarta  Hidup itu adalah pilihan. Dalam pekerjaan atau menjalankan usaha misalnya. Anda bebas memilih, mau bekerja diposisi apa, berbisnis apa, dan bagimana cara menjalankan usaha tersebut. Hal itulah yang setidaknya dilakukan oleh pengusaha muda asal Jakarta, William Sunito. Dia adalah Founder & Chief Executive Officer (CEO) TokoWahab.com Di usia mudanya, bungsu dari tiga bersaudara ini memimpin sekaligus mengelola perusahaan keluarga yang berdiri pada 1957. "Pada akhir 2015 saya kembali dari Amerika ke Indonesia dan memutuskan untuk terjun langsung mengurus perusahaan keluarga saya. Ini memang kemauan saya (untuk mengelola perusahaan) karena saya melihat ada potensi yang besar," jelas William saat berbincang dengan  Tim Liputan6.com  di kantornya di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (12/2). Ya, berbekal passion dalam dunia bisnis ditambah pengetahuan yang didapat selama kuliah di University of Washington, Amerika Serikat, William mulai menerap

OPINI Cristeddy Asa Bakti: Menentukan Posisi di Era Digitalisasi

REVOLUSI  industri memegang peranan penting dalam  kehidupan manusia. Dimulai dari revolusi industri 1.0 pada abad ke-18 di mana tenaga manusia mulai digantikan dengan mesin bertenaga uap dampaknya pekerjaan yang sebelumnya di kerjakan manusia terdisrupsi oleh mesin uap. Pada era tersebut muncul pekerjaan baru yaitu sebagai operator mesin uap dan juga manusia yang sebelumnya hanya berfokuskan menggunakan tenaga mulai meningkatkan kompetensi supaya bisa mengoperasikan mesin tersebut. Revolusi industri 2.0 yang terjadi di awal abad ke-20 ditandai dengan kemunculan tenaga listrik. Perubahan dari mesin uap ke mesin bertenaga listrik dikarenakan energi listrik mudah diubah menjadi energi yang lain.  Pada era ini pun juga terjadi disrupsi dan perubahan yaitu mulai bermunculannya pabrik-pabrik untuk pembuatan produk massal dikarenakan mulai diperkenalkan dengan kehadiran “ban berjalan” (konveyor) misalnya: mobil, motor. Dampaknya manusia yang sebelumnya bermata pencaharian petani memi

WEF 2020 Meluncurkan Manifesto Davos untuk Revolusi Industri 4.0

Davos, IDN Times  - Pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF), Profesor Klaus Schwab, meluncurkan Manifesto Davos (The Davos Manifesto 2020).  Klaus yang mencetuskan “Revolusi Industri 4.0” dan menulis buku tentang itu, memberikan judul “Tujuan Universal Sebuah Perusahaan di era Revolusi Industri Ke-4”.  Manifesto diluncurkan bertepatan dengan tahun ke-50 dilakukannya WEF, yang setiap bulan Januari dilaksanakan di Davos, resor ski di pegunungan Alpen, Swiss.  “Tahun 1973, kami mengumumkan Manifesto Davos juga yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk beroperasi.  Prinsip-prinsipnya masih relevan dan awet. Tapi, dunia berubah secara dinamis. Saat ini perusahaan global diharapkan menjadi agen perubahan, memainkan peran lebih besar dalam menentukan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya yang mengubah dunia,” kata Klaus. Pendiri WEF ini mengklaim bahwa selama 50 tahun, WEF telah berkontribusi dalam pembangunan global di berbagai bidang. Manifesto Davos 2020 dimaksudka