Langsung ke konten utama

Pandemi Virus Corona Persulit Upaya Jembatani Kesenjangan Digital



New York - 
Dunia menyaksikan salah satu transformasi tercepat dalam sejarah, ketika pemerintahan dan bisnis sangat bergantung pada internet selama masa-masa pembatasan bergerak dan lockdown demi meredam laju penyebaran COVID-19.
Adopsi teknologi digital ke dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari berlangsung dalam tempo yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang diminta untuk bekerja dari rumah, sekolah dan universitas melaksanakan kelas dan kuliah online, dokter dan pasien beralih ke telemedicine, para pemimpin politik melakukan konferensi tingkat tinggi secara virtual.
Peralatan digital seperti aplikasi ponsel cerdas dengan transfer data cepat, digunakan untuk memantau penyebaran virus dan pergerakan orang-orang yang berpotensi tertular. Sementara perusahaan teknologi raksasa seperti Alibaba dan Tencent di China, Google dan Microsoft di AS, menggunakan kemampuan jaringan komputer kapasitas tinggi untuk membantu penelitian para ahli mencari obat untuk COVID-19.
"Namun seiring dengan meningkatnya ketergantungan pada platform digital, makin besar pula jurang teknologi antara negara-negara, maupun di dalam satu negara," kata Torbjörn Fredriksson, kepala ekonomi digital di badan untuk perdagangan dan pembangunan PBB, UNCTAD, kepada DW.
Jurang digital makin dalam
Fredriksson menunjuk pada kasus orang-orang lanjut usia, yang bahkan di negara-negara paling maju sekalipun, tidak dilengkapi secara digital atau tidak mampu memiliki akses terhadap semua informasi yang disebarkan secara online dalam menanggapi wabah COVID-19. Padahal mereka termasuk kelompok yang berisiko tinggi.
"Begitu perusahaan, organisasi, dan pemerintah semakin banyak beralih ke solusi digital untuk mengatasi kebijakan jarak sosial, larangan bepergian, dan efek lockdown lainnya, semua harus belajar menggunakan teknologi digital dengan cara baru yang tidak biasa mereka lakukan sebelumnya," kata Fredriksson.
"Jadi, begitu ekonomi meningkat lagi nanti, kita akan melihat lebih banyak ekonomi digital dan lebih banyak masyarakat digital, terutama di negara-negara yang telah dapat mengambil keuntungan dari alat-alat digital. Tetapi negara-negara yang tidak begitu siap untuk melakukan itu akan tertinggal jauh," tambah kepala ekonomi digital UNCTAD itu.
Ketika lebih dari setengah populasi dunia terhubung ke internet, di banyak negara yang kurang berkembang, hanya satu dari lima orang yang dapat menggunakan fasilitas seperti itu, lapor UNCTAD. Di negara-negara termiskin, kurang dari 5% populasi yang melakukan belanja online, bandingkan dengan 60-80% populasi di negara maju yang melakukan online shopping.
Kesenjangan digital antar perusahaan
Akses buruk ke internet dan platform digital lainnya membuat hampir tidak mungkin bagi negara-negara termiskin untuk memanfaatkan potensi digitalisasi seperti yang dilakukan di negara-negara lain selama krisis corona.
"Kita harus mulai memberikan perhatian penuh pada dimensi digital dan ketahanan ekonomi suatu negara, apakah itu berurusan dengan bencana alam, krisis kesehatan atau krisis lainnya," kata Fredriksson lebih lanjut. "Selama mereka (negara-negara miskin) tertinggal jauh dalam hal kesiapan digital, sangat sulit bagi mereka untuk menggunakan alat-alat ini dalam mengatasi masalah."
Situasi saat ini telah memperkuat posisi pasar dari beberapa platform megadigital, kata UNCTAD. Badan PBB itu dalam laporan tahun 2019 sudah menyebutkan, ada tujuh perusahaan digital terbesar dunia – yaitu Microsoft, Apple, Google, Facebook, Amazon, Tencent dan Alibaba – yang menguasai dua pertiga omset platform digital global pada tahun 2017.
COVID-19 memacu digitalisasi
Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara berkembang telah berusaha keras untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari digitalisasi, dengan investasi di bidang infrastruktur dan aksesibilitas. Pandemi Corona kini memacu berbagai kebijakan ke arah itu lebih cepat lagi.
Fredriksson menyebut contoh menteri perdagangan Senegal, yang telah mengundang para pemangku kepentingan di negaranya untuk memberikan saran bagaimana mempromosikan pengiriman makanan, alat-alat kebersihan, dan produk kesehatan yang diperlukan di rumah untuk memerangi virus Corona.
"Pandemi ini memicu kebijakan di tingkat politik, terkait kebutuhan untuk mencari cara bagaimana memanfaatkan teknologi digital yang telah ada," katanya. "Tetapi dalam waktu dekat, dibutuhkan juga cara untuk mengatasi berbagai kelemahan dan hambatan yang muncul dari kesenjangan digital," pungkas Fredriksson.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bantu Mudahkan 'Jalan' UMKM, CEO Toko Online Ini Masuk Forbes 30 Under 30

Liputan6.com, Jakarta  Hidup itu adalah pilihan. Dalam pekerjaan atau menjalankan usaha misalnya. Anda bebas memilih, mau bekerja diposisi apa, berbisnis apa, dan bagimana cara menjalankan usaha tersebut. Hal itulah yang setidaknya dilakukan oleh pengusaha muda asal Jakarta, William Sunito. Dia adalah Founder & Chief Executive Officer (CEO) TokoWahab.com Di usia mudanya, bungsu dari tiga bersaudara ini memimpin sekaligus mengelola perusahaan keluarga yang berdiri pada 1957. "Pada akhir 2015 saya kembali dari Amerika ke Indonesia dan memutuskan untuk terjun langsung mengurus perusahaan keluarga saya. Ini memang kemauan saya (untuk mengelola perusahaan) karena saya melihat ada potensi yang besar," jelas William saat berbincang dengan  Tim Liputan6.com  di kantornya di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Rabu (12/2). Ya, berbekal passion dalam dunia bisnis ditambah pengetahuan yang didapat selama kuliah di University of Washington, Amerika Serikat, William mulai menerap

OPINI Cristeddy Asa Bakti: Menentukan Posisi di Era Digitalisasi

REVOLUSI  industri memegang peranan penting dalam  kehidupan manusia. Dimulai dari revolusi industri 1.0 pada abad ke-18 di mana tenaga manusia mulai digantikan dengan mesin bertenaga uap dampaknya pekerjaan yang sebelumnya di kerjakan manusia terdisrupsi oleh mesin uap. Pada era tersebut muncul pekerjaan baru yaitu sebagai operator mesin uap dan juga manusia yang sebelumnya hanya berfokuskan menggunakan tenaga mulai meningkatkan kompetensi supaya bisa mengoperasikan mesin tersebut. Revolusi industri 2.0 yang terjadi di awal abad ke-20 ditandai dengan kemunculan tenaga listrik. Perubahan dari mesin uap ke mesin bertenaga listrik dikarenakan energi listrik mudah diubah menjadi energi yang lain.  Pada era ini pun juga terjadi disrupsi dan perubahan yaitu mulai bermunculannya pabrik-pabrik untuk pembuatan produk massal dikarenakan mulai diperkenalkan dengan kehadiran “ban berjalan” (konveyor) misalnya: mobil, motor. Dampaknya manusia yang sebelumnya bermata pencaharian petani memi

WEF 2020 Meluncurkan Manifesto Davos untuk Revolusi Industri 4.0

Davos, IDN Times  - Pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF), Profesor Klaus Schwab, meluncurkan Manifesto Davos (The Davos Manifesto 2020).  Klaus yang mencetuskan “Revolusi Industri 4.0” dan menulis buku tentang itu, memberikan judul “Tujuan Universal Sebuah Perusahaan di era Revolusi Industri Ke-4”.  Manifesto diluncurkan bertepatan dengan tahun ke-50 dilakukannya WEF, yang setiap bulan Januari dilaksanakan di Davos, resor ski di pegunungan Alpen, Swiss.  “Tahun 1973, kami mengumumkan Manifesto Davos juga yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk beroperasi.  Prinsip-prinsipnya masih relevan dan awet. Tapi, dunia berubah secara dinamis. Saat ini perusahaan global diharapkan menjadi agen perubahan, memainkan peran lebih besar dalam menentukan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya yang mengubah dunia,” kata Klaus. Pendiri WEF ini mengklaim bahwa selama 50 tahun, WEF telah berkontribusi dalam pembangunan global di berbagai bidang. Manifesto Davos 2020 dimaksudka