Jakarta, IDN Times - 'Ruang hampa" yang tercipta di tengah wabah virus corona (COVID-19)-yang belum juga mencapai puncaknya, seolah membuat waktu berhenti.
Bisnis pun melambat. Seisi bumi serasa ingin mengubur memori tahun kelam secepat mungkin dan meninggalkannya pergi. Namun ada yang tidak diduga dari munculnya wabah ini: digitalisasi.
Pandemi COVID-19 memaksa karyawan dan pengusaha mengelola tugas, target dan timnya dari rumah atau work from home (WFH). Ibu rumah tangga makin rutin belanja daring via platform e-commerce. Pelajar dan generasi kini (gen mager, tiktoker, content creator) makin antusias karena seolah mendapat legitimasi “go online” hasil dari kebijakan pemerintah “jangan sekolah, belajarlah di rumah”.
Internet yang dulu dianggap pelengkap dan barang luksuri, saat ini makin nyata menjadi utilitas dan semestinya digunakan dengan pantas karena faktor fungsionalitas. Koneksi digital bukan lagi solusi alternatif, melainkan mandatori. COVID-19 akan menjadi akselerator implementasi digital di Indonesia. Wabah ini telah memaksa -menjadi push factor- memicu percepatan adopsi dan transformasi digital baik oleh konsumen (pengguna) maupun produsen (penyedia jasa).
Ketika perusahaan-atas anjuran pemerintah, berhasil ‘mengurung’ karyawannya untuk bekerja di rumah, dan tiga minggu terakhir setelah pengukuran kapasitas kerja tak terjadi penurunan keluaran kerja yang signifikan, maka HRD akan menimbang perlunya karyawan untuk tetap bekerja di kantor setelah situasi pulih.
Periode stagnan membuat perusahaan lebih punya waktu mengevaluasi diri. Perlukah ruang kerja dan sarana kerja seperti saat ini. Tidakkah lebih efisien bagi perusahaan untuk menghemat tunjangan transportasi kepada karyawan dan mengalihkan sekian persen tertentu untuk menjadi tunjangan komunikasi dan internet? Bukankah karyawan menjadi lebih optimal dalam mengatur ‘work-life balance’ sehingga membuatnya lebih produktif dalam bekerja? Itu baru sebuah contoh.
Selebihnya, lompatan digital di Indonesia ini akan tampak pada banyak gejala di sisi perubahan perilaku dan efeknya kepada penyediaan di sisi jaringan/ koneksi, jasa dan aplikasi terkait teknologi. Pemicu terkuat lompatan digital di saat ini bukan faedah, tapi ‘fear factor’ dan traumatik akibat pandemi. Transaksi nir-kas mau tak mau jadi pilihan karena manusia risih transaksi dengan uang kertas dan bersentuh tangan dengan kasir. “Semuanya bisa dilakukan di rumah”, mengarantina keluarga berminggu-berbulan (masa tanggap darurat Indonesia akan berlangsung setidaknya tiga bulan) telah menghasilkan perilaku baru untuk bertahan hidup.
Belanja e-commerce yang semula hanya didominasi produk fesyen, travel, elektronik atau hiburan seperti sekarang ini akan dipenuhi juga ‘basic products’. Jasa layan antar untuk semua produk mulai sembako, makanan siap santap, multivitamin, sayuran organik, empon-empon, herbal hingga kosmetik, apapun yang mengurangi kontak fisik antara penjual dan pembeli, akan makin berlipat nilai transaksinya. Pun, cara transaksi tidak hanya akan didominasi pengalaman belanja standar pilih-bayar-antar tapi akan masuk ke pemanfaatan virtual reality, augmented reality serta big data untuk penawaran produk tepat sasaran.
Layanan-layanan yang sejak lama tersedia namun lambat sekali diadaptasi di Indonesia, platform yang menunjang produktivitas, berbagi bahan pelajaran dan belajar jarak jauh, layanan medis dan farmasi, IP TV ,dan siaran langsung berbasis internet (broadcasting and streaming) akan bertemu momentumnya karena ‘dipaksa’ wabah.
Aplikasi remote working seperti Zoom, Slack, Google Classroom, Hangout, telemedis untuk layanan kesehatan (beberapa tersedia di Indonesia seperti Halodoc, Getmedic, Alodokter), Massive Open Online Course (MOOC) seperti yang disediakan Coursera dan Udemi, dan e-learning termasuk yang disediakan Universitas Terbuka, akan bertemu critical-mass dan meledak.
Hambatan bukan alasan
Saat bencana dan krisis, semua butuh internet dan internet butuh infrastruktur telekomunikasi yang memadai. Tanpa layanan komunikasi yang baik khususnya data dan internet, maka kebijakan ‘bekerja dan belajar dari rumah’ tidak akan berjalan. Banyak keterbatasan dalam hal kapasitas dan akses tidak boleh membatasi layanan komunikasi. Mengapa? Karena kecepatan akses internet bagi pemerintah (untuk koordinasi di tengah bencana dan keberlangsungan pelayanan publik), pelaku bisnis (untuk transaksi dan operasional usaha) dan pengguna/ masyarakat (untuk bekerja, bersosialisasi dan mengakses informasi) sama pentingnya.
“Akses internet sangat penting justru pada saat krisis, terutama pada saat darurat. Pembatasan pada akses ke internet tidak dapat dibenarkan atas nama ketertiban umum atau alasan keamanan nasional,” kata David Kaye juru bicara OHCHR, sebuah departemen dibawah Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bekerja untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. Di Malaysia, pemerintah memberikan akses internet gratis bagi masyarakat sejak 1 April hingga berakhirnya lockdown. Hal ini berkebalikan dengan Indonesia dan India yang justru membatasi akses internet.
Menkominfo Johny Plate, misalnya, menganjurkan agar masyarakat lebih efisien menggunakan internet. “Peningkatan traffic meningkat tinggi sejak tren ini. Kita harus jaga biar bisa efisien penggunaannya. Kita harus gunakan dengan cerdas agar tidak ada over-traffic," kata Plate di sela-sela konferensi pers online yang dilakukan di Jakarta, Senin (23/3/2020). Hal yang bisa dilakukan masyarakat, lanjut dia, antara lain tidak menggunakan ruang internet secara ilegal, seperti mengakses situs perfilman ilegal, membuat dan menyebarkan hoaks, dan lain sebagainya.
Sementara itu di India khususnya di Kashmir, karena alasan teknis dan politis, akses internet dibatasi. Dengan kecepatan internet terbatas pada 2G, penduduk Kashmir harus berjuang untuk bekerja dari rumah atau menghadiri kelas online seperti wilayah lain di India, yang pada hari Jumat (27/3) memiliki 171 kasus virus corona. Dokter di Kashmir juga terhalangi untuk mendapatkan informasi tentang virus tersebut.
Khusus di Indonesia, persebaran COVID-19 yang begitu luas membawa permasalahan tersendiri. Diawali Jakarta pada awal Maret, wilayah lain kemudian melakukan pembatasan interaksi manusia secara lokal dengan ragam kebijakan masing-masing.
Namun yang pasti, physical distancing membawa konsekuensi pada pembatasan mobilisasi orang, ujungnya adalah bekerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah. Bagaimana kualitas koneksi kabel dan nirkabel adalah pertanyaan besar. Bagaimana menjamin denyut gerak ekonomi tetap berlangsung di seluruh daerah? Di wilayah-wilayah pinggir Indonesia, penetrasi pita lebar yang masih rendah, harga berlangganan internet yang tidak murah dan kebijakan yang tak mendukung internetisasi menjadi hambatan tersendiri.
Akselerasi dan Reimajinasi
Alih-alih mendapatkan keuntungan dari penggunaan internet yang meningkat pesat, serangan COVID-19 secara global ikut berperan mengguncang industri telekomunikasi Indonesia. Pelambatan tiba-tiba pada sektor suplai dan permintaan yang akan memicu resesi global serta nilai tukar rupiah yang anjlok terhadap dolar AS mempersulit situasi. Di antaranya suplai ahli dan peralatan telekomunikasi Indonesia terhambat (khususnya suplai dari Tiongkok dan negara lain yang terdampak serius).
Melorotnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga mengganggu belanja modal infrastruktur yang hampir semuanya dipatok dalam dolar. Dampak lanjutan, arus keluar investasi asing dari pasar saham Indonesia juga membuat emiten sektor telekomunikasi ikutan rontok.
Apa kabar tol langit Indonesia? Palapa Ring yang dikabarkan akan membuat ekonomi digital Indonesia meroket dengan menargetkan pemerataan akses komunikasi di daerah terdepan, terluar dan tertinggal menemui hambatan. Setelah kelar dan diresmikan pada 14 Oktober 2019, layanan internet belum juga bisa diakses oleh masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota yang dilalui jaringan. “Perlu fasilitas lanjutan agar layanan data menjangkau konsumen,” kata Menteri Johny Plate. Apa saja? BTS (Base Transceiver Station) pasif atau NOC, BTS aktif dan jaringan microwave untuk daerah remote yang tak terjangkau kabel (Tempo, 29/2).
Sementara negara lain telah menyiapkan jaringan handal untuk dimuati konten, aplikasi dan layanan menggunakan Augmented & Virtual Reality, kecepatan kilat untuk Esports, koneksi tanpa cela untuk IoT, kita masih berkutat dengan pertanyaan soal kecepatan 4G. Pemerintah dan industri mesti terbuka dan melakukan terobosan untuk membuat masalah koneksi terselesaikan. Hambatan kondisi geografis Indonesia, standar ukuran/ penggunaan data penyedia konten yang tak ramah dengan kapasitas jaringan, sambungan kabel serat optik yang masih terpusat di kota-kota besar, telah membuat infrastruktur telekomunikasi belum siap dan memadai.
Semakin banyak aplikasi perusahaan di dunia akan bergantung pada kemampuan 5G untuk memungkinkan “Edge Computing”. Diperkirakan bahwa dalam tiga tahun, 45 persen dari data yang dihasilkan IoT akan disimpan, diproses, dianalisis, dan ditindaklanjuti di Edge Network. Dengan mengaktifkan agregasi dan pemrosesan data seperti ini, perusahaan dapat mencapai penghematan bandwidth sekaligus mengurangi latensi dan meningkatkan keandalan.
Sebelum terlalu jauh ke sana, marilah menilai inklusivitas para operator (MNO, Mobile Network Operator) yang kerapkali mengedapankan egonya, dengan alasan teknis maupun ekonomis. Dalam hal berbagi jaringan (network sharing) saja misalnya. Mari tengok peran pemerintah selaku regulator dalam memediasi berbagai kepentingan di industri telekomunikasi, telahkah maksimal?
Marilah pula membuka pikiran untuk pendekatan dan teknologi serta model bisnis baru yang dapat mengurangi sakit kepala di kemudian hari. Penerapan MVNO (Mobile Virtual Network Operator) di antaranya. Dengan kebutuhan kolaborasi untuk segera menyelesasikan masalah pemerataan akses telekomunikasi khususnya internet di Indonesia, pemerintah dan MNO harus segera memulai model bisnis ini dangan kontrak B2B yang menguntungkan.
Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tinggal di rumah karena physical distancing membuat masyarakat mulai terbiasa dengan layanan internet yang mengatur seluruh hidupnya. Kelak - dalam 3 hingga 6 bulan mendatang - ketika krisis akibat pandemik ini berakhir, dampaknya pada cara hidup ‘remote’ tersebut bisa permanen. Apakah Indonesia telah siap merancang ulang masa depan telekomunikasinya dan menyiapkan diri ketika digitalisasi tiba lebih cepat?
Komentar
Posting Komentar