Di Indonesia kontribusi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih terbilang kecil, hanya sekitar 14 persen dari total nilai ekspor nasional per tahun. Angka ini berasal dari 64 juta lebih jumlah UMKM.
Statistik ini jika kita bandingkan dengan negara jiran Malaysia pun terasa kecil. Disana kontribusi UMKM sudah mencapai 27 persen dari total output, 26 persen dari nilai tambah produksi dan 39 persen dari lapangan kerja. Hebatnya lagi di Malaysia UMKM didominasi oleh kegiatan industry dan manufaktur sebagai bagian dari rantai pasok (supply chain) industry yang lebih besar.
Sebenarnya ini berawal dari mindset klasik bahwa UMKM di Indonesia fokus pada pasar dalam negeri dengan jumlah penduduk besar mencapai 269 juta jiwa. Dengan alasan industri kecil rumah tangga, pasarnya tak jauh - jauh dari tetangga, kita terlena dengan uang kecil, melupakan dollar. Pola pikir yang salah yang mesti kita rubah. Caranya dengan melihat keluar pangsa pasar ekspor jauh lebih besar lagi mencapai 7,4 miliar jiwa populasi dunia. Ini peluang besar yang sayang untuk dilewatkan.
Produk UMKM Indonesia potensial untuk diekspor karena tingginya permintaan. Namun, produk-produk itu kesulitan menembus pasar global. Seperti produk pertanian, perikanan, furnitur atau home decor, produk herbal, busana muslim, juga buah-buahan tropis segar yang tinggi permintaannya.
Namun, tak mudah bagi produk UMKM untuk masuk pasar luar negeri. Secara umum, pelaku UMKM terkendala minimnya informasi pasar, dokumen persyaratan, kualitas produk yang tidak konsisten, kapasitas produksi, biaya sertifikasi yang tidak murah, hingga kendala logistik.
Sebagai contoh, produk pisang yang akan kita kirim ke luar negeri membutuhkan 21 sertifikat untuk masuk pasar Eropa dan Amerika. Baru untuk mengekspor pisang, belum produk yang lain.
Untuk melakukan percepatan hingga ke tahap eksport mau tak mau UMKM kita harus mengadopsi digitalisasi bisnis yang berkembang begitu cepat. Hanya saja untuk melakukan percepatan, UMKM di Indonesia memiliki banyak masalah. Di mulai dari kapasitas produksi yang terbatas, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni, serta akses modal.
Dari segi kapasitas pelaku usaha, terdapat dua hambatan yang kini ada. Pertama adalah perihal selera pasar di mana apa yang diproduksi di Indonesia belum tentu selaras dengan selera pasar mancanegara.
Kedua, hambatan ada di pengurusan dokumen. Banyak eksportir atau pelaku UMKM ini melakukan semua proses hulu ke hilir produknya secara sendiri dan tak sedikit pula yang masih belum paham betul pengurusan dokumen.
Strateginya, semua pihak harus berkolaborasi memberikan pendampingan kepada pelaku UMKM, sehingga mereka memahami bagaimana masuk pasar ekspor. Harus fokus menyiapkan kapasitas dan daya saing produk UMKM. Mesti fokus mendampingi UMKM hingga mampu naik kelas.
Kementerian perdagangan sejauh ini sudah menyediakan platform Ina Export untuk membantu pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekspor. Platform tersebut setidaknya membantu para pelaku UMKM terdaftar untuk mengakses berbagai layanan dimulai dari produk katalog, informasi calon pembeli, serta pelatihan.
Pemerintah juga memiliki export coaching program, yaitu pendampingan pelaku usaha berorientasi ekspor dan mencetak eksportir baru dari kalangan UMKM.
Selain itu pelaku UMKM perlu juga melakukan diversifikasi produk ekspor. Sehingga produk buatan dalam negeri lebih baik dan bisa meningkatkan daya saing produk ekspor. Di samping meningkatkan kemampuan UMKM melalui berbagai pelatihan serta virtual business matching, dengan berbagai agenda pertemuan virtual antara UMKM dan calon pembeli di manca negara.
Apalagi UMKM merupakan sektor yang terdampak paling besar di tengah pandemi Covid-19 ini. Tantangan eksport produk UMKM kian bertambah. Tapi dengan banyaknya stimulus kebijakan dari pemerintah,maka diharapkan UMKM bisa bertahan dan berkembang dari sisi teknologi dan daya saing sehingga ini memberikan dampak positif bagi neraca perdagangan kita.
https://www.jambi-independent.co.id/read/2021/03/19/60189/saatnya-umkm-indonesia-menembus-eksport-
Komentar
Posting Komentar