Mendorong Kontribusi Ekonomi Digital
Sudah lebih dari setahun pemerintah merilis Paket Kebijakan Jilid 14 yang fokus pada perdagangan elektronik (e-commerce) dan ekonomi digital. Dalam paket kebijakan yang dirilis 11 November 2016 itu, pemerintah menargetkan menjadi negara dengan kapasitas digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada 2020.
Pemerintah juga menargetkan akan tercipta 1.000 technopreneurs dengan valuasi bisnis US$ 10 miliar dengan nilai e-commerce mencapai US$ 130 miliar atau setara dengan sekitar Rp 1.820 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) pada 2020. Sejauh ini kontribusi ekonomi digital, mengacu data Kementerian Keuangan, masih rendah, sekitar 6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun dengan semakin tumbuhnya ekosistem ekonomi digital, kontribusi ke PDB akan kian besar.
Ekosistem ekonomi digital saat ini terus berkembang. Startup Report 2017, laporan yang dipublikasikan DailySocial mengungkapkan, pengguna perangkat mobile di Indonesia pada 2017 mencapai 177,9 juta atau 49% dari total penduduk. Pengguna internet juga naik mencapai 132,7 juta dan pengguna media sosial (Twitter, Instagram, dan Facebook) 130 juta. Pengguna internet di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Laporan Google Temasek SEA e-Conomy Spotlight 2017 memperkirakan Indonesia memiliki 215 juta pengguna internet pada 2020, hampir setengah dari pengguna internet di Asia Tenggara pada 2020.
Fakta ini menjadi alasan mengapa ekonomi digital tumbuh signifikan, terutama perusahaan rintisan (startup) bidang e-commerce, lembaga keuangan digital (financial technology/fintech), dan layanan on-demand. Tiga sektor startup ini sangat berpotensi memperbesar ekosistem ekonomi digital.
Mari kita lihat perkembangan e-commerce. Laporan Google Temasek menunjukkan, dari total valuasi pasar ekonomi internet di Asia Tenggara pada 2017 yakni US$ 50 miliar, sebesar US$ 10,9 miliar di antaranya disumbang e-commerce.
Di Indonesia, besarnya minat orang berbelanja lewat e-commerce, salah satunya bisa dilihat dari transaksi Hari Online Nasional (Harbolnas) pada 11-13 Desember 2017. Total estimasi transaksi Harbolnas 2017 mencapai Rp 4,7 triliun, naik Rp 1,4 triliun dari 2016 (menurut data Nielsen Indonesia). Smartphone menjadi perangkat paling banyak dibeli (75%), sisanya laptop, PC, dan tablet. Menariknya, pertumbuhan tertinggi aktivitas belanja ternyata di luar Jawa (82%).
Hadirnya e-commerce memberi pilihan baru bagi para pengguna, baik pelaku usaha maupun konsumen dalam berinteraksi. Bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), e-commerce menjadi sarana mengembangkan usaha. Bagi ritel dengan brand besar, e-commerce membuat mereka bisa menjangkau lebih banyak konsumen dan meningkatkan loyalitas. Geliat e-commerce juga menghadirkan peluang baru bagi berbagai industri terkait, mulai dari bisnis logistik hingga perbankan. E-commerce pun turut membuka peluang lapangan kerja, baik langsung maupun tak langsung.
Dari sisi investasi, ekonomi digital mampu menarik investasi besar. Data App Annie 2017 mengungkapkan total investasi di sektor ini mencapai US$ 3 miliar pada 2017. Jumlahnya berpotensi naik karena menurut data The Economist dan Asia Business Outlook Survey 2018, Indonesia masuk top five tujuan investor di Asia dengan porsi investasi yang naik signifikan (44,1%), setelah Tiongkok (69,1%) dan India (47%).
Namun di tengah ekosistem ekonomi digital, khususnya e-commerce, yang terus membesar, ada tiga tantangan utama yang perlu diatasi bersama. Pertama, keniscayaan untuk bertransformasi di tengah perkembangan teknologi yang mengedepankan efisiensi dan kecepatan. Transformasi yang ditempuh beberapa perusahaan termasuk BUMN, PT Pos Indonesia, dalam digitalisasi sistem bisnis juga bisa menjadi contoh.
Untuk mengatasi ini, perlu juga dukungan peningkatan infrastruktur dan kecepatan internet. Menurut data Q12017 State of The Internet Connectivity Report, kecepatan rata-rata internet Indonesia hanya 7,2 Mbps (megabits per second), jauh dari Singapura 20,3 Mbps, Thailand 16 Mbps, Vietnam 9,5 Mbps, dan Malaysia 8,9 Mbps. Kabar baiknya pemerintah tengah membangun Palapa Ring menjangkau 34 provinsi sehingga sangat positif bagi pelaku e-commerce, konsumen, dan pelaku ekonomi digital lainnya.
Infrastruktur internet penting karena partisipan e-commerce bukan hanya kota besar, melainkan sampai pelosok daerah. Jika infrastruktur memadai, e-commerce akan tumbuh, memicu bangkitnya industri lain yang pada akhirnya meningkatkan ekonomi daerah.
Kedua, kualitas dan kuantitas penjual atau seller di e-commerce. UMKM memang menjadi seller utama di e-commerce marketplace, namun secara umum jumlahnya masih kalah jauh dibandingkan UMKM yang menjalankan bisnisnya secara offline. Pesatnya pertumbuhan e-commerce tentu akan membuka peluang lebih besar bagi UMKM untuk meningkatkan omzet. Menjadi tanggung jawab bersama para pelaku e-commerce untuk membantu UMKM bertransformasi ke digital melalui edukasi, dan pendampingan. Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha di industri digital, tidak terbatas hanya e-commerce, diharapkan dapat membantu. Pelaku usaha pun menyambut baik rencana Kominfo menggalakkan program UMKM Go Onlinedengan target sebanyak 8 juta UMKM yang akan go online pada 2020.
Tantangan ketiga adalah jumlah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mengimbangi perkembangan industri e-commerce. Dinamis dengan kesempatan untuk berkarya yang tak terbatas menjadikan industri ini berkembang pesat dan sangat menarik bagi generasi muda. Tidak hanya kesempatan menjadi pegawai di sebuah perusahaan digital namun peluang untuk menciptakan usaha sendiri menjadi jauh lebih mudah dibandingkan lima tahun lalu. Pendidikan yang diimbangi dengan pemahaman atas industri dan transfer of knowledge dari pelaku usaha baik dalam dan luar negeri, dapat menjadi kunci daya saing global SDM Indonesia saat ini.
Achmad Alkatiri, Chief Marketing Officer Lazada Indonesia
sumber:https://id.beritasatu.com/home/kemkominfo-fokus-pengembangan-ekonomi-digital/141207
Komentar
Posting Komentar