SURABAYA, kabarbisnis.com: Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), M Rizal menegaskan hingga saat ini, akses pembiayaan masih menjadi kendala utama bagi sebagian besar UMKM di seluruh Indonesia, termasuk Jawa Timur. Untuk itu, perlu penanganan cermat dan cerdas agar mereka bisa lebih mudah mendapatkan pembiayaan.
"Dari berbagai program peningkatan daya saing UMKM yang kami lakukan sepanjang 2013, Kadin Jatim mencatat setidaknya ada empat kendala yang dihadapi UMKM, yaitu pembiayaan, teknologi dan inovasi produk, riset pasar dan terakhir inefisiensi. Empat kendala itu harus diselesaikan karena tahun depan sudah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Jika kita abai, UMKM-UMKM kita akan kelimpungan hadapi persaingan global," ungkap M. Rizal yang juga menjadi Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dari partai Demokrat di sela penutupan Rapat Pimpinan Provinsi Kadin Jatim di Shangri-La Surabaya, Jumat (7/2/2013).
Pembiayaan masih menjadi kendala karena sulitnya persyaratan untuk mendapatlan kredit perbankan bagi UMKM seperti kelayakan usaha, rekening 3 bulan harus bagus dan keberadaan agunan serta lamanya berbisnis. Fakta di lapangan, banyak pengusaha UMKM yang sebenarnya bisnisnya sangat feasible, namun dinilai tidak bankable hanya karena masalah agunan atau lamanya berbisnis. Memang ada Kredit Usaha Rakyat (KUR), tapi skema kredit ini mematok bunga yang masih sangat tinggi bagi pengusaha UMKM, terutama yang baru merintis usaha.
Data Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, secara nasional, total pelaku UMKM dalam klaster pertama dan kedua yang merupakan usaha mikro rentan pembiayaan mencapai 50,70 juta unit usaha. Sebanyak 35,49 juta dunia usaha atau 70% merupakan usaha yang belum layak usaha dan belum bankable, sehingga memiliki risiko tinggi dalam pengembalian modal. Sisanya, 15,21 juta dunia usaha atau 30% telah layak usaha (feasible) namun belum bankable. Secara nasional, total pelaku UMKM yang termasuk klaster pertama dan kedua yang sulit mengakses pembiayaan mencapai 50,70 juta unit usaha.
"Dalam hal ini, Kadin Jatim mengusulkan ada sinergi pembiayaan antara program pemerintah, perbankan, dan Program Kemitraan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Harus ada sinergi antara pemerintah, perbankan, dan BUMN dengan skema pembiayaan yang seragam dan kontrol seirama agar pengembangan UMKM bisa berjalan baik, tidak sporadis, dan tidak tumpang-tindih antar-program yang ada," kata Rizal.
Kendala kedua, permasalahan teknologi dan inovasi produk. Permasalahan ini menjadi problem klasik para pengusaha UMKM. Dampaknya, para UMKM kerap kebingungan ketika berhadapan dengan ekspansi produk dari pabrik-pabrik yang lebih besar dan mapan. "Jika tidak ada pendekatan teknologi dan penumbuhan budaya inovasi, UMKM cepat atau lambat akan mati. Setidak-tidaknya UMKM akan sulit berkembang besar dan selamanya jadi pemain medioker alias menengah. Padahal, UMKM-UMKM berhadapan dengan bisnis besar yang sangat peka teknologi dan inovasi, sehingga lebih efisien dan lebih bisa mengikuti perubahan di pasar," kata Rizal.
Dalam hal ini, Kadin Jatim telah membentuk Kadin Institute yang fokus untuk meningkatkan daya saing UMKM melalui pendekatan teknologi. Kadin juga berharap pihak swasta dan BUMN, ikut menjadi mitra bagi UMKM dari sisi peningkatan teknologinya.
Kendala ketiga, riset pasar. Selama ini, UMKM nyaris tak didukung dengan riset pasar yang memadai terkait model promosi, peluang pasar, pesaing, barang substitusi dan komplementer atas produk-produk pengusaha muda, selera konsumen, tren pasar, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Kondisi ini membuat ekspansi bisnis UMKM sangat terbatas. Tanpa dukungan riset pasar, sulit bagi pengusaha pemula untuk bisa mengetahui apa yang dibutuhkan pasar. "Bersama-sama pemerintah dan dunia usaha, ke depan pelibatan perguruan tinggi harus diintensifkan untuk melakukan riset pasar. Butuh semacam market intelligence. Fungsi kantor perwakilan dagang Jatim di beberapa provinsi harus dioptimalkan," papar Rizal.
Selama 2013, hasil penjajakan pasar pengusaha Jatim yang mayoritas UMKM ke sejumlah provinsi dengan difasilitasi Kadin Jatim dan Pemprov Jatim membuahkan hasil yang bagus. Business to Business Meeting dengan pengusaha Sumsel, Sumut, Kalteng, Sulteng, Bali, Sulsel, dan Sulut sepanjang 2013 menghasilkan transaksi Rp214 miliar. Akselerasi pasar dengan cara ini harus ditingkatkan, berpadu dengan riset pasar yang dilakukan sebelumnya," ujar Rizal.
Kendala keempat, inefisiensi. UMKM belum mempunyai tingkat efisiensi yang optimal karena tidak mampu menciptakan skala ekonomi. Tingkat Produktivitas Total (TPT) usaha besar yang padat kapital mencapai 170 kali TPT usaha kecil. Sedangkan usaha berskala menengah mempunyai 3 kali TPT usaha kecil. Ini menunjukkan betapa UMKM hanya besar dari sisi penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit usaha, namun dalam hal skala dan nilai bisnis mereka kalah jauh dengan perusahaan besar yang padat modal. TPT sendiri adalah cara ukur kinerja usaha dengan menghitung nilai tambah per kesempatan kerja yang diciptakan.
"Untuk persoalan ini, Kadin mengusulkan adanya klasterisasi UMKM. Pengembangan UMKM di Jatim harus bertumpu pada karakteristik lokal (economies of localization) dan berbasis pada kebijakan pemberdayaan masyarakat lokal (endogenous development policies). Artinya, pengembangan UMKM didasarkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya manusia lokal, sumberdaya institusional lokal, sumberdaya fisik lokal, dan sumberdaya alam yang dimiliki daerah. Pendekatan ini memberi titik tekan pada pemberian prakarsa lokal (local initiatives) untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal guna membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan daya saing ekonomi masyarakat," tegasnya. kbc6
sumber: http://www.kabarbisnis.com/read/2845011
Komentar
Posting Komentar